SYAMANISME, TAOISME DAN PUISI MANTERA
SUTARDJI CALZOUM BACHRI
(Bagian II Esai “Perlawanan Estetik dan Metafisik Sutardji Calzoum Bachri”)
Namun supaya tidak berlarut-larut, kita harus kembali ke mantra. Mantra dicipta
dalam masyarakat yang mempercayai adanya kekuatan supernatural yang
mempengaruhi kehidupan. Kekuatan ini bisa didayagunakan oleh manusia untuk
menyelamatkan dirinya dari bahaya-bahaya yang mengancamnya dan untuk melindungi
dirinya dari gangguan mahluk halus serta binatang buas. Di dunia modern
monster-monster seperti juga hadir di tengah kita, dan bersembunyi di balik
bermacam rekayasa mulai dari rekayasa ilmiah, genetik, ideologi, politik, dan
sistem informasi. Ia hadir pula melalui dunia maya, membrondongkan berbagai
simulacra ke alam bawah sadar kita.
Untuk dunia seperti itu diperlukan cara pandang yang terbalik, dengan demikian
keseimbangan dalam kehidupan kita terjadi. Cara pandang seperti itu telah ada
sejak lama dalam kebudayaan umat manusia. Misalnya cara pandang seperti yang
dipraktikkan para syaman, nabi-nabi apokaliptik seperti Zarathustra,
tokoh-tokoh mistisisme Timur dan Barat, para Vedantin, Yogin dan Tantrik di
India, Sufi di dunia Islam, dan lain-lain. Di kepulauan Melayu, sebelum
hadirnya Tantrisme dan Sufisme, adalah syamanisme yang memiliki pandangan
seperti itu.
Kita tahu bahwa syamanisme merupakan sistem kepercayaan kuna yang paling
bertanggung jawab bagi lahirnya tradisi mantra dan jampi-jampi. Ada segi
negatif dan segi positifnya dalam sistem kepercayaan ini, sebagaimana dalam
banyak aliran kepercayaan lain. Tergantung bagaimana kita mengaktualisasikan
mana yang baik, dan menekan segi-segi negatifnya. Syamanisme meletakkan dan
menyembunyikan pandangan hidup dan gambaran mereka tentang dunia di dalam
mantra. Karena itu untuk mengetahui spirit mantra, kita harus bercermin pada
suasana kejiwaan dan alam pikiran syaman.
Menurut Izutzu (1983) kejiwaan syaman terlihat pada gejala mythopoiesis yang
selalu terbawa dalam kehidupan seorang dukun atau syaman. Seorang syaman
memiliki visi atau penglihatanarchetype yang
bersifat ekskatik, yang membuat hidupnya penuh gairah dan dapat mengungkap
rahasia alam gaib yang tampak chaotic. Dalam melihat segala sesuatu di
dalam kehidupan, seorang yang memiliki penglihatan seperti itu akan memandang
kehidupan sangat berbeda bahkan bertentangan dengan orang kebanyakan.
Taoisme di Cina sebagai bentuk mistisisme yang berorientasi kepada alam,
menurut Izuzu, berkembang dari syamanisme. Ia melahirkan suatu bentuk kosmologi
yang bersifat imaginal, mirip dengan kosmologi Ibn `Arabi yang berteraskan
teori Alam Misal atau Alam Imaginal. Dalam kosmologi seperti itu, terpatri
keyakinan bahwa jalan untuk mencapai hakikat itu diliputi kegelapan yang begitu
pekat, penuh rintangan berbahaya, dan membingungkan. Gambaran sesungguhnya tentang
alam tidak dapat dijelaskan secara rasional, kecuali melalui perumpamaan dan
tamsil-tamsil (Moore 1967; Izutzu 1983).
Upaya untuk menyingkap misteri yang meliputi dunia ciptaan ini akan selalu
dihadapkan pada kegagalan, kesia-siaan, dan kekaburan. Ia benar-benar tak
terpahamkan oleh akal, apalagi secara inderawi. Dunia seperti itu juga dijumpai
dalam diri manusia yang merupakan jagat kecil atau mikokosmos. Ia merupakan
penghuni tetap alam bawah sadar dan supra sadar. Di situ Yang Hakiki menjejakkan
kehadirannya sebagai bayang-bayang misterius. Karena tidak terpahamkan Ia hanya
bisa digambarkan sebagai sesuatu Yang Tiada, sebagai Yang Tak Dikenal dan Tak
Terpahamkan. Tetapi segala obyek yang ada di alam dunia ini berasal dari Yang
Tiada. Di dalam Yang Tiada itulah jutaan benih kejadian tersimpan dan menunggu
penampakan.
Lukisan-lukisan Cina klasik, yang sebagian besar merupakan hasil karya penganut
Taoisme, mencerminkan pandangan seperti itu. Terutama lukisan yang menghadirkan
pemandangan. Gunung, lembah, lereng bukit, pepohonan, bentangan langit luas di
atasnya, jalan yang berliku-liku dan berputar-putar naik turun, semua tidak
luput dari guyuran kabut. Sosok manusia yang sedang mendaki gunung digambar
kecil seakan tidak ada artinya di tengah keluasan semesta yang tidak terhingga
dan remang-remang.
Lukisan-lukisan itu pada dasarnya menggambarkan bahwa pada hakikatnya realitas
itu diliputichaos, mengandung banyak misteri, dan
serba nisbi. Berdasarkan kenyataan bahwa realitas itu diliputi chaos dan
misteri yang tak terpecahkan, dan serba nisbi, maka lahirlah konsep yang
disebut oleh Izuzu sebagai primordial
indifferentiation (ketakacuhan
primordial). Berdasarkan konsep ini uraian-uraian tentang jalan menuju hakikat
tidak disampaikan melalui bahasa diskursif ilmu, melainkan menggunakan bahasa
figuratif sastra yang bersifat simbolik dan metaforikal.
Dalam kosmologi Ibn `Arabi konsep primordial indifferentiation direpresentasikan melalui
penggunaan tamsil seperti nur muhammad, untuk menjelaskan asas
penciptaan. Menurut Ibn `Arabi, ketika dunia mulai dicipta Tuhan turun untuk
menerangi kegelapan dengan cahaya-Nya, lantas dari cahaya-Nya itu Dia
menciptakan asas awal segala ciptaan yang disebut Nur Muhammad, cahaya
berkilauan yang terpuji. Dalam sajaknya “Sudah Waktu” Sutardji menulis: “sudah
waktunya/memasukkan kembali/seluruh langit/semua langit/setiap darat/ kedalam
dirimu//karena asal tanah itu kau/asal langit itu kau/asal laut itu kau/asal
jagad itu kau”. Dia merindukan saat-saat awal penciptaan, ketika ruh manusia
masih dekat dengan Tuhannya.
Dalam Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) `Attar
menggambarkan hakikat diri atau asal-usul kejadian ini sebagai Simurgh, burung
besar yang indah dan berkilauan, merdu suaranya, hidup sendiri di puncak gunung
Qaf. Tetapi dalam mitos yang lebih kuna, asal-asul kejadian itu sering
digambarkan sebagai monster besar yang menakutkan, wajahnya penuh keriput
seperti nenek lampir, tetapi anggun, dan tidak acuh terhadap sekelilingnya.
Dalam purana Hindu, Yang Hakiki digambarkan sebagai Dewa Syiwa yang memiliki
berbagai manifestasi. Ia kadang hadir sebagai pemburu yang menakutkan, sebagai
petapa agung yang mendatangkan rasa hormat, sebagai kesatria yang tangkas dan
sakti, atau sebagai lelaki perkasa yang gemar mempertontonkan phallusnya di
pintu asrama pelajar wanita, tetapi tidak membuat wanita yang melihatnya merasa
jijik dan takut, sebaliknya justru terpesona dan jatuh cinta.
Jika kita baca sajak panjang Sutardji “Amuk”, akan kita jumpai ‘aku lirik’
mewakili kesadaran primordial manusia mencari asal usulnya di alam ketuhanan,
yang penuh misteri dan kegelapan. Penyair menghadirkan ‘ketakacuhan
primordial’nya melalui imaji simbolik kucing (yang dengan sendirinya arkaik dan
tepat) yang mengamuk, meraung-raung, mencakar-cakar, mencari Tuhan.
Penjelajahan atau pencariannya dimulai dari alam fisik (alam nasut),
kemudian ke alam yang lebih tinggi: pertama, alam kejiwaan (alam malakut,
alam misal), kemudian lagi ke alam trasendental (alam jabarut),
akhirnya ke alam metafisik (alam lahut).
ngiau! kucing dalam darah dia menderas
lewat dia mengalir ngilu ngiau dia bergegas
lewat dalam aortaku dalam rimba darahku
...
jangan beri daging dia tak mau daging jesus
jangan beri roti dia tak mau roti ngiau
dia tak makan berapa ribu waktu dia tak
kenyang berapa juta lapar kucingku
berapa abad dia mencari mencakar menunggu
...
lebih barah dari barah membarah dalam
darah dalam tiap zarah marwahku dia
makan aku sekarang dialah kucing
mautak mauku dia jadikan aku penggantiMu
dalam rimba diriku dalam dunia
Setelah melontarkan pernyataan-pertanyaan eksistensial seperti “siapa bikin
socrates siapa bikin plato” dan memberikan salam kepada gelisah hari dan bibit
benci, aku lirik membayangkan dirinya sebagai jiwa yang memiliki banyak
tawanan. Setelah itu ia beralih peran sebagai dokter bedah yang kejam, yang
mencoba mengiris tubuh membelah benak dan membuka rabu mereka, sebab “siapa
tahu ada tuhan sembunyi di sana”. Sia-sia menemukan Tuhan di situ, penyair
berkata:
kalian menyimpan tuhan untuk sendiri
sampai kalian bangkai
Yang
dijumpai penyair hanya jejak-Nya. Namun jejak itu tak menuju ke mana-mana.
Berbagai kenikmatan lahiriah dan kesenangan jasmani telah diperoleh, juga
kelezatan ilmu dan falsafah, tetapi jiwa penyair masih meronta-ronta:
susu haru segala perempuan
aku telah ngisap kalian
perigi langit sumur seribu perahu
aku telah meregukmu
malam seribu bulan
aku telah menidurimu
tiang segala lelaki
aku telah sampai puncakmu
aku telah berjuta waktu
mencari menungguMu
(hal. 70)
Kemudian kata sang penyair lagi:
lebih tua dari niniveh lebih tua dari sphinx
lebih tua dari maya lebih tua dari jawa
lebih tua dari babilon
aku telah hidup sebelum musa
ratusan abad ngalir dalam nadi
mengerang meraung menderu
mendesah darah meronta dalam aortaku
yang ada kini yang ada nanti yang ada kapan
setelah sampai venus setelah sampai zaman
maka akulah hidup
dan Kau telah menapakkan berjuta jejakMu dalam hidupku
(hal. 71)
Aku lirik, yang pada mulanya merupakan simbol ‘kesadaran primordial’ manusia,
kini berubah menjadi esensi kesadaran primordial pencipta peradaban, yang dalam
falsafah Vaishesika India disebutmahat dan buddhi, seperti
tampak dalam bait yang sarat dengan pertanyaan:
siapa bikin socrates siapa bikin plato
siapa bikin archimedes siapa bikin zeno
siapa bikin sartre siapa bikin laotze
siapa bikin mpu siapa bikin guru
kalau tak aku
yang membuat banyak bijak
dan belum menjangkauMu
(hal. 61)
Konsep ketakacuhan primordial dalam sajak-sajak Sutardji jelas berakar dalam
syamanisme. Melalui konsep itu, penyair ingin membiarkan spiritualitas berjalan
sebagaimana adanya spiritualitas seperti halnya alam. Intervensi ilmu dan teknologi
dalam memecahkan rahasia hidup tidak diperlukan, sebab malah akan mendatangkan
kerusakan yang lebih parah.
Dalam “Sejak” ia mengemukakan beberapa pertanyaan eksistensial: “sejak kapan
sungai dipanggil sungai/sejak kapan tanah dipanggil tanah/sejak kapan derai
dipanggil derai...dst”, dan penyair tidak merasa perlu memberi jawaban. Ia
membiarkan misteri tetap hadir sebagai misteri. Tugas penyair hanya bagaimana
merenunginya, dan semakin larut dalam renungan yang dalam, semakin dalam pertanyaan-pertanyaan
yang tidak terjawab, ia akan merasakan kehadirann Yang Hakiki, yang tak dikenal
dan tak terpahamkan oleh akal.
Bandingkan sikap Sutardji dengan Chuang Tze, guru Taois terkemuka, yang
mengatakan: “Ada masanya ketika manusia zaman dahulu bersifat sempurna.
Bilakah? Ketika mereka belum menyadari adanya benda-benda. Kemudian, mereka
mengetahui adanya benda-benda, namun tidak berusaha memilah-milahnya. Kemudian
lagi, mereka memilah-milah benda-benda, namun tidak berusaha memberi cap ‘betul’
kepada sebagian dan memberi cap ‘salah’ kepada yang lainnya. Segera setelah
diberikan tanggapan-tanggapan semacam itu, maka pecahlah keutuhan Tao, sang
Rahasia itu, dan muncullah prasangka (Creel
1957).
Pada bagian lain sukhan atau wacananya Chuang Tze mengatakan,
“Aku pernah mendengar agar dunia itu hendaknya dibiarkan menentukan jalannya
sendiri, namun tidak pernah kudengar bahwa dunia dapat diperintah secara paksa
dengan berhasil.” Gurunya, Lao Tze mengeritik peradaban yang mengingkari kodrat
manusia dan menghancurkan asas keselarasan di alam semesta, dengan mengatakan
bahwa senjata merupakan pertanda buruk karena dibuat hanya untuk kepentingan
peperangan. Kuda-kuda diternakkan hanya untuk negara yang tidak patuh kepada
Tao. Hukum dibuat hanya untuk keperluan pemerintahan dan aparat keamanan, dan
semakin banyak undang-undang dibuat semakin banyak pula jumlah pencuri dan
penjahat bermunculan di seantero negeri. Hukuman mati sebenarnya sia-sia,
karena rakyat tidak pernah takut kepada maut yang dihadapi setiap detik dari
kehidupannya.
Dalam kisah Penguasa Awan dan Dewa Chaos, Chuang Tze membeberkan betapa
sia-sianya mencari jawaban yang pasti dan final tentang misteri yang meliputi
alam semesta. Tetapi ini tidak berarti manusia tidak berusaha mencarinya, demi
kesenangan dan kepuasan hatinya. Bahkan tanpa berusaha mencarinya, manusia
tidak akan tenang dan mencapai kebahagiaan, juga tidak akan tahu cara yang
sesuai bagi dirinya untuk menyatukan dengan alam dan kehidupan.
Diceritakan ketika mengadakan perjalanan ke timur Penguasa Awan berjumpa dengan
Dewa Chaos. Penguasa Awan terperanjat melihat Dewa Chaos berjalan seraya
memukul-mukul bokongnya sendiri dan melompat-lompat seperti burung. Penguasa
Awan bertanya, siapa dia dan mengapa berbuat demikian. “Aku sedang
bersenang-senang,” jawab Dewa Chaos. Penguasa Awan berkata, “Ether di langit
tidak lagi selaras, ether di bumi terlalu banyak bergerak. Keenam kaki mereka
berjalan tidak teratur. Saya ingin menyelaraskan kaki mereka agar mahluk-mahluk
hidup terpelihara dari ancaman anarki dan kekacauan. Bagaimana caranya?” Dewa
Chaos, seperti Sutardji menjawab, “Aku tak tahu. Tak Tahu. Tak tahu.”
Mereka pun berpisah. Tetapi di sebuah rimba belantara dipenuhi kabut, mereka bertemu
lagi. Penguasa Awan bertanya, “Apa Anda lupa kepada saya?” Dewa Chaos menjawab,
“Aku melayang kesana kemari tanpa tahu apa yang kucari. Aku sekadar bergerak
disebabkan dorongan hati sesaat, aku mengembara tanpa tujuan, sambil melihat
sesuatu tanpa prasangka dan praduga, tanpa niat buruk. Lantas bagaimana aku
bisa mengetahui hakikat sesuatu?” Penguasa Awan berkata, ia sebenarnya juga
seperti itu. Tetapi manusia berbondong-bondong mengikuti ketidaktahuan dan
pengembaraannya. “Apa yang harus kulakukan?” Dewa Chaos menjawab, “Asas-asas
pokok dunia telah dilanggar, susunan benda-benda telah diputarbalik. Gerak
rahasia alam telah mengalami kegagalan, kawanan binatang berhamburan ke
mana-mana, sekalian burung meratap di malam hari, tetumbuhan dan pepohonan layu
pada musim hujan, kerusakan bahkan terjadi pula pada serangga dan kecoa. Semua
ini disebabkan kekeliruan penanganan. Manusia yang begitu banyak itu telah
menderita dan gagal menjadi manusia karena diperintah oleh segelintir orang
yang tidak tahu apa-apa mengenai Jalan sejati.”
Ketakacuhan primordial seperti itu tidak dapat ditafsirkan sebagai sikap anti-
dunia. Seandainya timbul kesan penolakan terhadap ‘dunia’ dan ‘peradaban’, atau
yang semacam dengan itu dalam pernyataan tersebut, maka yang dimaksud dunia dan
peradaban ialah sebagaimana adanya dunia dan peradaban itu. Tetapi sebuah dunia
atau peradaban yang tercela, hampa nilai spiritual, membelenggu kreativitas dan
mekarnya dimensi transenden dari kehidupan manusia, harus ditolak. Sebuah dunia
yang hilang kemurniannya disebabkan korupsi nilai-nilai. Ketakacuhan primordial
dengan demikian harus didudukkan pengertiannya sebagai ‘sikap jiwa’ atau ‘sikap
hati’ yang tidak mau ditundukkan oleh hal-hal yang serba duniawi dan serba
bendawi (Creel 1967).
Jika sikap semacam itu dipandang sebagai eskapisme dan sikap membenci dunia
dalam artian harafiah, maka tentu penganut-penganut spiritualisme, mistisisme,
taoisme, syamanisme, dan lain-lain tidak akan menyumbangkan apa-apa kepada
peradaban dan kebudayaan umat manusia. Kenyataan sejarah menunjukkan hal yang
sebaliknya. Justru para mistikus dan sufi, atau mereka yang mempunyai hubungan
dengan mistisisme dan tasawuf, yang paling besar kontribusinya bagi
perkembangan seni dan sastra. (BERSAMBUNG)
Sutardji Calzoum Bachri