PERLAWANAN ESTETIK DAN METAFISIK
SUTARDJI CALZOUM BACHRI
Dalam seminar ini saya mendapat tugas yang berat, karena topik
yang harus saya bahas telah dibahas dengan baiknya oleh Dami N. Toda lebih dari
dua dasawarsa yang lalu. Kritikus ini seolah tidak memberi celah untuk melihat
beberapa aspek lain dari estetika Sutardji Calzoum Bachri yang bisa saja luput
dari perhatian dan tidak kurang relevannya untuk dibahas. Karena itu saya harus
menguras tenaga dan dengan susah payah baru bisa memulai pembahasan. Kecuali itu
saya sudah lama tidak membaca lagi buku puisinya O, Amuk, Kapak. Dan
ketika saya mulai membacanya lagi saya seperti harus memulai dari nol. Untuk
itu diperlukan titik tolak dan perspektif yang sesuai dalam upaya memahami
sajak-sajaknya.
Membaca sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri, terutama yang pendek, senantiasa
timbul kesan awal bahwa sajak-sajaknya itu mudah dipahami dan diresapi. Dengan
imaji-imaji yang karib dan ungkapan bersahaja, sajak-sajaknya begitu menyentuh
hati. Walau cenderung surealistik, sajak-sajak itu bukan sajak gelap. Yang
ingin diungkapkan penyair tidak jarang adalah pengalaman trasendental,
khususnya pencarian ketuhanan yang harus ditempuh dengan susah payah dan
melalui berbagai rintangan yang berat.
Lebih jauh lagi jika kita masuk semakin ke dalam, kita akan semakin sadar bahwa
untuk mengorek pesan keruhanian dan moral dari sajak-sajak itu, bukan persoalan
gampang. Sajak Sutardji menuntut perenungan yang dalam dan persediaan imaginasi
yang kaya, Dunia dari sajak-sajaknya itu begitu kompleks, tidak bisa dirumuskan
secara sederhana. Kadang yang hadir kepada kita setelah membacanya ialah sebuah
lukisan dengan sosok dan imaji yang ganjil, serta memberikan suasana trance
seperti apabila kita membaca sajak Arthur Rimbaud. Kadang yang hadir ialah
lukisan kesunyian mistikal seperti dijumpai dalam sajak-sajak Rumi dan Hamzah
Fansuri. Kadang tampak pada kita sebuah dunia yang angker. Kadang kita jumpai
imaji-imaji ekskatik seperti dalam sajak Li Po dan Hafiz.
Kadang membaca sajak Sutardji seperti menyaksikan gambar ‘alam misal’ nya Ibn
`Arabi dan Suhrawardi al-Maqtul. Sebuah alam yang hening dan kudus, dihuni
sosok yang angker namun anggun, tetapi tiba-tiba terkoyak oleh hiruk pikuk
suara mahluk-mahluk dengan segala tingkahnya yang aneh. Dalam sajak-sajak
Sutardji Calzoum Bachri, kita jumpai pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang
kerap tidak terduga-duga, namun memukau. Tidak ada penyair Indonesia lain
seperti Sutardji yang begitu total melakukan perlawanan metafisik terhadap
kondisi kemanusiaan bentukan peradaban materialistik dan positivistik.
Abdul Qahir al-Jurjani, ahli estetika Arab-Persia abad ke-12 M, benar ketika
mengatakan bahwa puisi -- betapa pun ringkas dan bersahajanya -- adalah makna
yang menurunkan makna-makna. Ini karena puisi menggunakan bahasa figuratif atau majaz yang
dalam kodratnya sarat dengan fiksionalitas dan nuansa. Melalui bahasa figuratif
itulah bangunan ruhaniah puisi yang begitu terstruktur itu dibentuk. Bangunan
ini, menurut Ibn `Arabi, merupakan kias atau perupaan simbolik dari apa yang
disebut Alam Misal (Abdul Hadi W. M. 2004) Membaca ungkapan estetik puisi
adalah ibarat melihat manusia. Kita sebaiknya tidak berhenti melihatnya sebagai
sebuah sosok lahir, tetapi sebagai badan halus, yaitu representasi pengalaman
dan visi keruhanian penyair.
Dalam penelitian saya sementara ini, setidak-tidaknya ada tiga perspektif yang
bisa diajukan sebagai pintu untuk memasuki dunia sajak-sajak Sutardji dan
memahami pesan keruhaniannya.Pertama, dari perspektif semangat puitik mantra yang
dijadikan tempat pijak Sutardji dalam memulai karier kepenyairannya. Kedua, membandingkan perlawanan metafisik Sutardji dengan
perlawanan Dyonisus terhadap Apollo sebagaimana dikemukakan Nietzsche dalam The Birth of Tragedy.Perlawanan metafisik Sutardji tidak
jauh berbeda dengan perlawanan Dyonisus, dewa ekstase dari Persia yang
berdialektik dengan Apollo, dewa rasionalisme Yunani yang tidak memberi tempat
kepada spiritualitas dan agama. Ketiga,
dalam perkembangan akhir kepenyairannya, tampak pula kecenderungan sufistik
yang kuat pada Sutardji. Perspektif ini tidak bisa diabaikan untuk memahami
lebih jauh apa yang dimaksud penyair dengan “kembali ke akar kembali ke sumber”
dalam kegiatan sastranya.
Jika ditelusuri dengan teliti tiga perspektif ini secara simbolik menggambarkan
perjalanan spiritual Sutardji sebagai tokoh terdepan Angkatan 70 dalam sastra
Indonesia. Kembali ke mantra adalah perjalanan ke masa lalu dunia Melayu
Nusantara sebelum datangnya peradaban Hindu dan Islam. Kemudian dengan bekal
mantra, dia merespon masa kini, laiknya Dyonisus melawan Apollo. Kemudian
melalui kecenderungan dan nada sufistik sajak-sajaknya, ia kembali lagi ke masa
lalu yang lebih dekat jarak waktunya dan sekaligus ke masa kini, karena tasawuf
mewakili dunia perenial.
Jiwa
Mantra
Mantra adalah ragam tutur yang digolongkan sebagai puisi bebas paling tua di
dunia, sebab ia memang tidak terikat pada aturan ketat seperti pantun, gurindam
atau syair. Di dalam buku kesusastraan Melayu, ia kerap dimasukkan ke dalam kategori
bahasa berirama seperti taromba. Dalam mantra yang ditekankan
bukan makna, tetapi pengaruh magis dari kata-katanya yang mampu membangkitkan
asosiasi tertentu. Sebagaimana ragam tutur lain yang lahir dari tradisi lisan,
unsur improvisasi dan spontanitas sangat kuat dalam mantra.
Dalam mantra, kata-kata bisa hadir sebagai imaji pembentuk suasana magis dan
surealis, yang dengan itu pikiran luluh dalam kabut ketakpahaman. Kata-kata di
dalamnya sering tanpa makna, tetapi memiliki kekuatan memukau yang luar biasa.
Dunia mantra sepenuhnya tidak rasional, tetapi sebagai ragam tutur estetik
memiliki logika sendiri. Ia dicipta dengan tujuan mempengaruhi bukan saja jiwa
manusia, tetapi juga hewan, tetumbuhan, bahkan mahluk-mahluk halus yang
dipercaya bertebaran di sekeliling kita.
Suasana magis yang dibangun dalam sebuah mantra mampu menghubungkan jiwa
manusia dengan alam gaib, tempatnya ia berasal dan keberadaannya selalu diawasi
oleh para penghuninya yang tidak tampak. Ada beberapa alasan mengapa Sutardji
kembali ke mantra sebagai sarana pengucapan pengalaman estetiknya. Pertama, hasrat
menggali akar tradisi masyarakatnya. Kedua,melalui
mantra sang penyair ingin menyalurkan perlawanan metafisiknya terhadap
intalektualisme dan rasionalisme yang mendasari peradaban modern yang menindas.
Perlawanannya itu secara simbolik dinyatakan dengan hasratnya untuk melakukan
pembebasan kata dari beban idea dan pengertian.
Yang pertama, menandakan kedekatan penyair dengan dan cintanya kepada kebudayaan
bangsanya. Ini bertentangan dengan sikap sebagian besar penyair Indonesia yang
merasa asing pada tradisi budaya bangsanya dan memilih jadi Si Malin Kundang
atau Manusia Perbatasan, yang secara budaya dan spiritual tidak berakar dalam
tradisi budaya apa pun. Di hadapan penyair seperti Sutardji, penyair seperti
itu telah melepaskan tanggungjawab sipritual dan kultural, yang sebenarnya
harus dipikulnya dengan ikhlas. Tetapi disebabkan beban intelektual dan
kecintaannya yang berlebihan kepada kebudayaan Barat, tanggungjawab itu
dicampakkannya.
Yang kedua, secara simbolik mengisyaratkan bahwa apa yang dilakukan Sutardji
merupakan perlawanan terhadap peradaban rasionalistik dan positivistik, yang
menjadi faktor utama hancurnya kebudayaan tradisional dan sendi-sendi
spiritualitas dari kehidupan masyarakat Nusantara. Peradaban modern tidak mampu
menjelaskan apa tujuan sebenarnya kehidupan, kecuali untuk berpikir, bekerja
keras, makan, tidur, bersenang-senang, dan bersanggama. Bukan hanya kebudayaan
yang dihancurkan, tetapi juga alam dan lingkungan hidup. Semua itu dilakukan
demi sebuah idea, demi sebuah pengertian, demi sebuah gagasan yang disebut
Kemajuan.
Dalam kredonya Sutardji mengatakan bahwa menulis puisi adalah membebaskan kata
dari penjajahan pengertian, dari beban idea, dari tradisi lapuk yang
membelenggunya seperti kamus dan penjajahan lain seperti moral kata yang
dibebankan masyarakat pada kata tertentu. Apabila itu dilakukan, kata Sutardji,
maka kreativitas pun dimungkinkan, sebab kata-kata bisa menciptakan dirinya
sendiri dan menentukan kemauannya sendiri, tanpa harus dibelenggu oleh
pengertian atau idea tertentu. Dengan demikian timbullah hal-hal yang tidak
terduga sebelumnya. Pada mulanya adalah kata. Demikian sang penyair. Dan kata
pertama adalah mantra. Maka kembali kepada mantra sebagai ragam tutur estetik
adalah mengembalikan kata kepada asalnya, kepada kemurnian bahasa dan jiwa yang
menciptakan bahasa (Sutardji Calzoum Bachri 1981).
Untuk memahami apa yang dikatakan penyair, kita harus meneliti mantra dan
bentuk-bentuk spritualitas apa yang mendasari suburnya penciptaan mantra. Kita
juga harus meneliti unsur-unsur puitik apa dari mantra yang menyebabkan
Sutardji Calzoum Bachri memilihnya menjadi titik tolak penciptaan puisinya.
Kesan awal yang timbul setelah membaca sajak-sajak Sutardji ialah kedekatan
sajak-sajak itu dengan taromba atau prosa berirama. Kemudian, seperti telah
dikemukakan, kesan magis, mistis, dan surealistis yang ditimbulkan oleh
rangkaian imaji-imajinya yang sering tidak ada kaitan satu dengan yang lain.
Kita dibawa ke dalam sebuah dunia laiknya mimpi, ke alam bawah sadar, di mana
segala ragam sosok yang ganjil, angker, mengharukan, anggun, penuh ketakacuhan,
luka tersayat, penuh borok dan nanah, dapat kita temui. Sosok-sosok itu
dihadirkan sedemikian rupa untuk memberi kesan betapa kehidupan ini diliputi chaos dan
tak terpahamkan.
Beberapa sajaknya boleh jadi memberi kesan impresionistik, dan menyajikan
sebuah jagat yang diliputi keheningan dan kesunyian yang mistikal. Tetapi
suasana chaotik lebih menguasai gambaran yang
disajikan penyair. Untuk apakah semua itu disuguhkan kepada kita? Untuk
mengungkapkan derita spiritual manusia, kondisi kemanusiaan yang
memprihatinkan, luluh lantaknya kebudayaan, kesia-siaan manusia mencari yang
hakiki dalam sejarahnya yang panjang sejak peradaban pertama muncul di muka
bumi, keinginan tahu penyair akan maksud penciptaan alam semesta yang tidak
terpenuhi melalui ilmu pengetahuan dan falsafah manapun yang sofistikated.
Sajak pembuka dalam antologi O dimulai dengan “Ah, rasa yang dalam!”.
Sajak ini penuh dengan pertanyaan eksistensial yang begitu puitik:
siapa sungai yang paling derai siapa langit yang paling
rumit
siapa laut yang paling larut siapa tanah yang paling
pijak siapa
burung yang paling sayap siapa ayah yang paling tunggal
siapa
tahu yang paling tidak siapa Kau yang paling aku kalau
tak aku yang paling rindu?
...
Ah
rasa yang dalam
aku telah tinggalkan puri purapuraMu
(O, Amuk, Kapak hal.
17)
Bahasa mantra yang lebih murni tampak dalam sajak “Mantera”
lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mengasapi duka
puah!
Kau jadi Kau!
Kasihku!
(hal. 20)
Marilah kita bandingkan dengan sebuah mantra pengusir hantu, yang telah
dipengaruhi Islam, seperti berikut:
Assalamu`alaikum anak cucu hantu pemburu
Yang diam di rimba sekampung
Yang duduk di ceruk banir
Yang bersandar di pinang burung
Yang berteduh di bawah tukas
Yang berbulukan daun resam
Yang bertilamkan daun lirik
Yang berbuai di medan jelawai
Tali buaya semambu tunggal
Kurnia Tengku Sultan Berimbangan
...
Janganlah engkau mungkir setia padaku
Matilah engkau ditimpa daulat empat penjuru alam
Mati ditimpa malaikat yang empat puluh empat
Mati ditimpa tiang Ka`bah
Mati disula besi kawi
Mati dipanah halilintar
Mati ditimpa kilat senja
Mati ditimpa Qur`an tiga puluh juz
Mati ditimpa kalimah syahadat
(Hooykaas 1981:19)
Pengaruh
mantra ternyata sangat kuat terhadap ragam tutur estetik lain dalam
kesusastraan Melayu. Perhatikan sebuah taromba yang disisipkan dalam Hikayat Malim Demam berikut
ini:
Hari Ahad berjumpa Senin
Dua belas hari bulan
Dua belas tapak bayang-bayang
Menderau-derau hujan panas
Sabung menyabung kilat
Panah memanah halilintar
Berbunyi sekalian bunyi-bunyian
(Abdul Hadi WM 2004:126)
Kesan yang timbul setelah membaca sajak-sajak ini ialah kuatnya kepercayaan
terhadap alam gaib. Di belakang mantra dan bahasa berirama itu, sebagaimana
juga dalam sajak-sajak Sutardji, tersembunyi bentuk-bentuk spiritualitas dan
mistisisme tertentu yang di dunia modern dipandang anti-rasionalisme dan
anti-intelektualisme. Melalui perspektif ini kita bisa memahami semangat yang
melatari kredo puisi Sutardji.
Dengan kembali ke mantra, ia ingin kembali kepada semangat pawang, ketika manusia
belum dikungkung oleh paham-paham falsafah dan keilmuan seperti rationalisme,
intelektualisme, scientisme, materialisme, neo-positivisme, darwinisme,
proletarianisme, dan lain-lain. Semua itu jika diterapkan secara melampau dalam
masyarakat yang sejarah peradabannya berbeda dengan di Barat, hanya akan
melahirkan semacam snobisme budaya, pendangkalan, dan segala bentuk
kepura-puraan yang tidak terduga. Bahkan akan menciptakan masyarakat yang
sakit, bukan saja tatanan sosial politik dan ekonominya, tetapi juga kebudayaan
dan spiritualitasnya. Penyair berang, geram dan marah. Dia menjerit dan
meraung-raung, mengamuk, membawa kapak, dan dengan berdarah-darah meneruskan
penjelajahannya mencari Tuhan yang dengan itu ia harapkan persoalan dan
teka-teki keberadaan dapat dipecahkan. Kadang, ketika rasa lelah tidak
tertahankan lagi dan segala upaya yang dikerahkan menghasilkan setumpuk
kesia-siaan, ia pun tunduk, pasrah, dan kembali tidak acuh pada segala yang
ada. Dua sajak Sutardji yang diberi judul “Amuk” dan “Kapak” secara simbolik
memberi isyarat bahwa ia memilih jalan radikal dalam melakukan perlawanan
metafisiknya.
Ia ingin menjungkir balikkan nilai-nilai, seperti Zarathustra, nabi apokaplitik
Persia yang meninggalkan tanah kelahiranya Magian menuju Balkh di Afghanistan
sekarang untuk mengumumkan bahwa yang selama ini dianggap Dewa oleh orang Arya
sebenarnya adalah setan (asura Sanskerta;ahura Persia Kuna), sedangkan yang lazim
dipandang setan sebenarnya adalah Dewa. Karena itu sementara penganut Hindu
menyebut Tuhan mereka sebagai Dewa, dan setan sebagai Asura; penganut Zoroaster
menyebut Tuhan mereka sebagai Ahura Mazda, sedangkan Kekuatan Jahat sebagai
Ahriman, yang setara dengan Brahman dalam agama Hindu (Browne 1976). Atau
jangan-jangan apa yang selama ini disebut baik oleh kebanyakan orang,
sebenarnya buruk, sebagaimana anggapan orang terhadap kebudayaan modern.
Sebaliknya apa yang selama ini dianggap buruk, ternyata baik, sebagaimana
kebudayaan tradisional.
Sejak lebih satu dasawarsa yang lalu banyak sarjana sastra di Indonesia
memperdebatkan pentingnya teori pasca-kolonial dan relevansi pos-modernisme.
Tetapi apabila mau jujur, sebenarnya fenomena itu sudah dijumpai dalam karya
sejumlah penulis Angkatan 70 seperti Sutardji Calzoum Bachri dan Danarto, lebih
kurang satu dekade sebelum munculnya teori itu. Sajak Sutardji “Amuk” adalah
contoh yang representatif. Penyair menulis antara lain:
kucing meraung dalam darah meronta dalam aorta
menderam dalam tiap zarrah marwah
dalam tiap kata diriku
hai kau dengar kucing memanggilMu?
aku lepaskan segala bahasa
agar kucingku bisa memanggilMu
aku biarkan penyair dengan kata-kata
tapi banyak yang meletakkan bertonton purapura
bergerobak kerak filsafat
hingga kata tercekik karenanya
bagaimana penyair bisa sampai tuhan
kalau kata tak sampai?
kambing umpan mati tercekik
sedang rimau tak makan bangkai
Karena tercekik oleh falsafah yang pada dasarnya berorientasi kepada
rasionalisme dan materialisme, dengan upaya apa pun penyair Indonesia selama
ini tidak akan mampu mengeksplorasi pengalaman religius, spiritual, dan
transendental yang sesungguhnya begitu penting dalam upaya pemulihan peradaban
modern yang dilanda krisis parah dalam berbagai aspeknya. Di Barat kritik dan
protes terhadap peradaban yang lahir dari campuran semangat rasiuonalistik
Pencerahan (Aufklarung),
positivisme ilmiah, dan liberalisme itu telah lama muncul. Setidak-tidaknya
sejak munculnya romantisme, yang memuncak dengan lahirnya eksistensialisme dan
pos-modernisme. (BERSAMBUNG)
Sutardji Calzoum BachriSutardji Calzoum Bachri
No comments:
Post a Comment