25 August, 2010

esai :

PENGAJARAN SASTRA KITA “SAKIT “ (?)

...............................................................................................................................................
(Makalah ini disampaikan di depan guru-guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMP  
di Kota Depok pada pertemuan MGMP tahun 2008)
................................................................................................................................................


oleh : Ahmad Suyudi *)




Pertanyaan (seperti judul) di atas sebetulnya boleh dijawab dengan kata 'tidak' sekarang. Dulu, ya, sebelum diterapkannya KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), memang para pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia tidak bisa berharap banyak terhadap keberhasilan pengajaran kesusastraan. Terlalu banyak belenggu, terlalu banyak virus yang menjangkiti sistem pengajaran sastra di sekolah. Setidak-tidaknya sejak hampir 4 dekade (barangkali sejak kurikulum 1975 -pen) pengajaran sastra di sekolah sudah dirasakan mulai tidak sehat. Banyak pemerhati sastra dan pengamat pendidikan yang menyebut pengajaran sastra kita runyam, buram, semrawut, terbengkalai, kering, dan masih banyak lagi sinyalemen minor yang tidak mengenakkan. Namun, memang seperti itulah realitas yang terjadi selama itu. Para pengajar sastra dibuat puyeng dan stress oleh sistem yang berlaku. Struktur kurikulum kita yang hanya mendomplengkan (menitipkan) pengajaran sastra pada bidang studi Bahasa Indonesia menyebabkan alokasi waktunya terlalu sempit untuk menyampaikan materi, apalagi bila harus membawa siswa kepada tahapan apresiasi terhadap karya sastra.

Masalah minimnya buku teks yang berkualitas, intervensi penerbit buku, campur tangan birokrat, sampai kepada masalah bahan evaluasi sastra yang terpaksa harus meminggirkan orientasi kepada apresiasi karya sastra karena sistem tes yang diberlakukan selama itu tidak menghindar dari pembodohan peserta didik. Evaluasi pengajaran sastra hanya menjadi epigon dengan sistem tes yang tebak-tebakan spekulatif belaka, yakni memilih a b c d, mana yang benar. Ditambah pula dengan sajian materi yang teori minded telah memisahkan siswa dengan sastra itu sendiri. Dan cara-cara seperti itulah yang pada akhirnya benar-benar telah mengebiri kalau tidak mau dikatakan mematikan pengejaran apresiasi sastra di sekolah. Mereka tidak pernah diajak menyelam, menyatu, melebur menghayati, dan memahami, bahkan kalau mungkin mampu mencipta karya. Mereka hanya terlalu banyak dituntut harus menghafal-hafal hafalan kering, nama penyair-pujangga, sastrawan, judul karangannya, kapan dan di mana terbitnya dan sebagainya. Kendati hal itu perlu pula diketahui sebagai unsur eksternal dalam penghayatan dan pemahaman kepada karya sastra namun hal yang esensial dari pengajaran apresiasi terhadap karya sastra telah dikesampingkan.

KBK SASTRA
Kini dengan sistim kurikulum bertujuan kompetensi (:saya lebih suka menyebut bertujuan bukan berbasis  - meminjam isitilah Prof. D.J. Drost, SJ-pen.) sebetulnya peluang memperbaiki cara pengajaran sastra terbuka lebar. Justru hanya dengan pemberlakukan kurikulum bertujuan kompetensi inilah pengajaran sastra baru bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Sebab KBK menuntut pengajaran sampai kepada tingkat kemampuan peserta didik terhadap bidang yang dipelajarinya.

Dalam proses pembelajaran apresiasi sastra dengan sistem KBK para pengajar dan siswa harus masuk ke dalamnya. Sekali lagi, siswa harus masuk ke dalamnya. Pengajar tidak perlu merasa hebat dan superior , sementara siswa tidak perlu dianggap peserta didik yang serba tidak tahu. Kedua belah pihak sama-sama menjadi subyek, keduanya boleh sama-sama menjadi mitra dalam konteks memahami, menghayati, dan menghargai karya sastra.

Pengajaran sastra sekarang harus tertuju kepada realitas yang ada. Keluhan teerhadap minimnya bahan materi buku sastra di sekolah, tentang teman-teman pengajar sastra yang dianggap belum becus, juga bidang sastra yang hanya dititipkan ke dalam bidang studi Bahasa Indonesia, kekurangan waktu, dll – harus segera dijauhkan agar tidak menjadi masalah laten yang hanya akan mengerdilkan proses pembelajaran sastra itu sendiri.

Perihal kekurangan bahan materi pengajaran sastra, sementara bisa diatasi dengan mencari dan menggunakan materi lain yang ada. Tidak harus berupa buku teks pelajaran yang disodor-sodorkan oleh para pedagang  dari penerbit buku sampai ke sekolah-sekolah. Banyak karya sastra yang baik dan bermutu bertebaran di koran maupun majalah. Banyak koran besar baik lokal maupun bersekala nasional menyediakan kapling seni budaya/sastra yang selalu menerbitkan karya-karya sastra berupa cerpen, puisi, cerbung, novelet, serta artikel-artikel yang mengulas karya sastra maupun esei-esei seni budaya. Bahkan kini dunia moderen telah memberi fasilitas internet yang menerobos ruang dan waktu bagi siapapun untuk mengaksesnya. Banyak situs yang sangat mendukung proses sosialisasi sastra kita.

Dus, pengajaran sastra tidak perlu terus-menerus terpaku kepada materi sastra yang itu-itu saja. Bahwa kesusastraan itu luas adanya. Jangan hanya kita berhenti kepada karya-karya sastra yang telah ter-"kitab"-kan menjadi bahan baku mata pelajaran sastra. Bahwa kesusastraan itu hidup dan tumbuh terus setiap waktu. Karya-karya sastra terus bermunculan dan lahir dari para pengarang dari generasi ke generasi. Kalau kita hanya terpaku terus kepada pengetahuan baku seperti pembabakan angkatan sastra: Angkatan Balai Pustaka dengan Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, Pujangga Baru dengan Layar Terkembang dan Belenggu, Angkatan ’45 dengan Tiga Menguak Takdir, Deru Campur Debu dan Yang Terhempas dan Yang Terputus, lalu Angkatan ’50, Angkatan ’66, Angkatan ’70 dan seterusnya, maka kita telah berhenti dan tidak lagi mengikuti perkembangan dan pertumbuhan dunia sastra yang terus hidup tumbuh dan berkembang. Ratusan penyair baru, sastrawan muda, pengarang remaja, para penggerak seni budaya dan teater terus hidup dan tumbuh bertebaran di seluruh pelosok tanah air. Mereka belum tercatat di dalam babakan-babakan sastra seperti di atas, namun kemampuan kreativitas dan karya-karya mereka baik berupa cerpen, puisi, novel, maupun karya-karya drama telah diakui dan telah memberi warna kepada pelangi budaya negeri ini.

Masalah sempitnya alokasi waktu bagi pengajaran sastra pun tidak perlu dirisaukan. Biarlah sempit. Biarlah hanya sedikit. Bukankah pengajaran sastra membuka peluang bagi kita untuk kreatif ? Guru sastra mesti inovatif, kita tidak boleh alergi dan selalu ragu-ragu menggunakan terobosan-terobosan yang baru dan segar. Belajar mengapresiasi sastra nampaknya tidaklah harus membutuhkan waktu yang lama. Biarlah pelajaran lain mengalokasikan sampai empat atau enam jam pelajaran, sastra tidak perlu berjam-jam. Bermenit-menit sudah cukup asalkan efektif serta mengena pada sasaran yang kita tuju. Kita tidak perlu mencari-cari waktu di luar jam kelas, dengan ekstra atau kokurikuler jika memang tidak memungkinkan. Cukup beberapa saat saja. Bawalah anak-anak kita kepada suasana yang nyaman untuk menciptakan kondisi yang sesuai sehingga mereka merasa nikmat, merasa enjoy, merasa senang, dan lalu tertarik. Misalnya membawa mereka keluar dari ruangan kelas yang selalu diselimuti oleh atmosfer pembelajaran yang kaku dan tidak fleksibel, menuju taman, atau halaman sekolah yang teduh dan leluasa. Biarkan mereka mengekspresikan bagaimana membaca sebuah cerpen atau puisi dengan bebas tanpa terganggu konsentrasinya. Dengan metode seperti ini barangkali mereka akan lebih masuk ke dalam suasana dan mood untuk proses pembelajaran apresiasi sastra.

Belajar sastra dapat dilaksanakan dalam suasana riang dan ringan, serta penuh kebebasan berekspresi, tidak harus membuat dahi berkerut dan berkeringat serta seserius belajar eksakta. Inilah sebetulnya hal yang esensi dari pengajaran sastra. Kalau siswa sudah mulai tertarik, senang, gembira dan merasa enjoy,  mudah bagi kita untuk membawa masuk lebih dalam kepada proses pembelajaran.

Kalau yang menjadi masalah adalah kekurangmampuan para pengajar dalam mengapresiasi karya sastra sehingga minder untuk memberi contoh dan membawa siswa kepada proses pembelajaran, kenapa tidak kita gunakan mediator? Kita dapat menghadirkan sastrawan, penyair, pengarang, untuk berinteraksi dan melakukan proses pembelajaran sastra, seperti yang sudah banyak dilaksanakan yakni dalam program Sastra Masuk Sekolah (SMS). Mereka bisa bercerita bagaimana pengalamannya menjadi pengarang, menjadi penulis, penyair, atau mengisahkan bagaiman proses kreatif terjadi sehingga muncul karya sastra seperti yang diciptakannya. Kita dapat saling menjalin kerjasama dengan kantong-kantong kebudayaan, komunitas seni budaya, pengarang, dan kelompok-kelompok teater serta dewan kesenian di daerah. Mereka biasanya memiliki SDM (apresiator) yang baik dan mampu mengkomunikasikan karya sastra untuk kita ajak bekerjasama menyampaikan pengajaran apresiasi sastra.

Dengan wadah MGMP (Musayawarah Guru Mata Pelajaran) Bahasa dan Sastra Indonesia yang biasanya sudah terbentuk dan berjalan serta memiliki program-program pembinaan guru matapelajaran di setiap wilayah kita dapat memanfaatkan pertemuan-pertemuan rutin dan berkala untuk mengundang narasumber atau pelatih dari kalangan para sastrawan, penyair, maupun para pemain teater. Kemudian guru dapat bertindak sebagai fasilitator (tentu saja dengan dukungan pihak sekolah) untuk mempertemukan siswa kepada para narasumber tersebut.

Sistem kompetisi atau lomba kreativitas sastra barangkali juga perlu diterapkan. Penyelenggaraan sayembara atau lomba-lomba baca puisi, baca cerpen, menulis kreatif fiksi, cerpen, puisi, cerita bersambung, menulis artikel, esei, sinopsis, resensi buku, resensi filem, sinetron, dsb, antar siswa mampu merangsang dan memberi motivasi kepada siswa untuk menggemari sastra. Ciptakan ajang sayembara menulis tingkat sekolah, tingkat gugus, bahkan tingkat kota/kabupaten. Kini dengan berkembangnya dunia internet tentu media untuk melaksanakan kompetisi seperti ini lebih terbuka lebar. kita dapat memanfaatkan situs-situs yang gratis maupun terdaftar semisal blog atau situs jejaring sosial  untuk media pembelajaran apresiasi sastra. Berikan penghargaan kepada yang terbaik, misalnya dengan memuatnya di majalah  dan situs-situs sekolah, atau memberi hadiah yang mampu mendorong semangat kreativitas siswa. Dan bukankah sayembara spenulisan karya sastra baik fiksi maupun nonfiksi serupa ini pun dilaksanakan pada tingkat nasional oleh Departemen Pendidikan Nasional?

Dengan program kegiatan seperti itu tentu saja kita dapat melanjutkannya dengan menciptakan media yang dapat mewadahi karya-karya pelajar di bidang sastra, misalnya penerbitan majalah sastra pelajar, bulletin, atau semacam antologi sastra yang khusus memuat dan menerbitkan karya-karya sastra para siswa kita. Dengan begitu mereka merasa tertantang untuk kreatif dan kompetitif. Lakukan kerjasama kemitraan dengan pihak-pihak yang bersedia dan mampu memberikan dukungan bagi terciptanya wadah publikasi karya-karya para pelajar. Demi perkembangan dan kemajuan kebudayaan kita. 

***

KENDALA LAIN APRESIASI SASTRA
Di atas tadi telah dikatakan bahwa dalam konteks apresiasi terhadap karya sastra pengajar dan siswa sebagai peserta didik bolehlah sama-sama masuk menjadi apresiator.
Namun pada masa sekarang ini faktor-faktor penyebab bagi sulitnya pengajaran apresiasi sastra di sekolah ternyata tidak hanya terletak pada masalah-masalah seperti telah disebutkan di atas. Rendahnya budaya baca menjadi biang keroknya. Budaya membaca terlalu sulit untuk dapat ditumbuhkembangkan kepada anak-anak. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Taufik Ismail yang memperbandingkan para siswa di negeri kita dengan beberapa negara manca tidak dapat disangkal lagi. Minat baca para siswa kita memang sangat rendah. Barangkali hal ini juga sangat terkait dengan budaya menonton yang belakangan, sejak dua dekade ini, lebih berkembang. Begitu mudahnya anak-anak dapat menonton tayangan-tayangan siaran televisi dengan program-program acara yang sangat variatif dan membuat keranjingan. Bayangkan oleh kita, seorang anak yang baru saja terjaga dari tidurnya pagi-pagi, dengan mata masih (maaf) belekan dan belum sempat melakukan pekerjaan apa pun ke depan hidungnya sudah disodorkan sajian gratis siaran televisi.

Pengaruh kuat dari keranjingan seorang anak terhadap tayangan televisi ini konon juga membuat berkurangnya daya konsentrasi dan minat terhadap pekerjaan lain, termasuk di dalamnya membaca.

Membaca karya sastra sebetulnya akan menuntun kita untuk menemukan sensitivitas (kepekaan), tidak hanya terhadap karya sastra itu sendiri, melainkan berimbas kepada semua fenomena yang terjadi di seputar kehidupan. Seseorang yang gemar membaca karya sastra dengan baik dan penuh apresiatif cepat atau lambat akan meningkat dalam dirinya kearifan, kehalusan budi, sensitivitas, rasa reni, dan intelektualitasnya. Dengan membaca sastra yang baik ditemukan pengalaman-pengalaman kehidupan di luar diri kita. Realitas fiksional yang tercipta di dalam karya sastra, baik itu berupa hal yang lucu, absurd (konyol), irasional, menggembirakan, menyedihkan, menakjubkan, menjijikkan, menggiriskan, menakutkan, menyebalkan, memuakkan, dan lain sebagainya, semua menjadi wawasan pengalaman dan memperkaya batin dalam diri kita. Dan pengalaman-pengalaman batin yang mampu mengasah kepekaan jiwa itu tidak pernah kita dapatkan di tempat lain.

Banyak ahli kejiwaan menyatakan bahwa pengalaman batin sesorang yang membaca sastra tidak sama dengan pengalaman batin orang yang menonton televisi. Sebab seseorang yang membaca suatu cerita rekaan (fiksi) atau karya sastra akan mencipta sendiri di dalam dirinya imajinasi-imajinasi terhadap semua realitas yang terjadi di dalam karya sastra itu. Maka tidak mengherankan kalau sesorang yang telah membaca suatu karya sastra akan menemukan kekecawaan ketika menyaksikan visualisasi karya sastra tersebut ke dalam sebuah filem. Dia tidak lagi menemukan semua realitas imajiner yang pernah tercipta di dalam batinnya sendiri saat menyaksikan filem visualisasi cerita tersebut. Semua visualisasi yang tercipta di dalam filem tidak jarang lebih buruk dari realitas imajiner yang ada dalam batin orang yang pernah membacanya.

Karya sastra lebih merangsang seseorang untuk bereksplorasi dengan imajinasinya. Ketika membaca karya sastra kita akan mampu melihat dengan jernih setiap karakter tokoh-tokohnya, tempatnya, suasananya, dan sebagainya sesuai dengan imajinasi kita sendiri. Maka kita akan melihat secara imajiner seperti apakah pemuda Hanafi, seperti apakah Rafiah ("Salah Asuhan"-Abdul Muis), seperti apakah tokoh Tuti-Maria (Layar Terkembang-STA), Siti Nurbaya (Siti Nurbaya – Marah Rusli), Zainudin, ("Tenggelamnya Kapal Van Der Vijk"-Hamka), Wak Katok ("Harimau-Harimau"-Mochtar Loebis), Perempuan Bunting yang ditunggu kedatangannya oleh para nabi (cerpen : "Kecubung Pengasihan" - Danarto), Rintrik, wanita tua buta yang eksistensinya melebihi wali, nabi, bahkan malaikat (Cerpen berjudul Jantung Tertusuk Panah karya Dabarto),  atau seperti apakah tokoh Maria Zaitun, pelacur yang insaf dan menemui dirinya diterima dipangkuan Tuhannya ("Nyanyian Angsa," Sajak Rendra), dsb. Bahkan dengan membaca sastra kita juga akan melihat gambaran seperti apa kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan konstelasi politik yang menjadi setting kehidupan masyarakat pada cerita tersebut.

Maka, karya sastra ternyata tidak hanya sekedar menjadi pelipur bagi pembacanya, melainkan juga menambah wawasan pengetahuan pada bidang yang lain. Kita akan mengetahui dari karya sastra bahwa pada suatu masa ternyata bagi para pemuda anak orang terpandang di daerah Minangkabau akan merupakan gengsi-prestise tersendiri bagi keluarganya apabila dapat melanjutkan pendidikan ke tanah Jawa (Batavia). Bahwa pada suatu masa orang dapat menunaikan ibadah haji ke tanah suci, walaupun pada akhirnya tidak mampu kembali lagi ke kampung halamannya (Di Bawah Lindungan Ka’bah-Hamka). Bahwa pada suatu masa seseorang yang baru keluar dari penjara sebagai korban politik akan merasa menjadi momok dan aib bagi masyarakatnya (Novel "Kubah" – Ahmad Tohari).

Dalam pengajaran apresiasi sastra yang terpenting adalah memberikan pengalaman batin kepada para peserta didik. Biarlah mereka merasa memperoleh sesuatu, setidak-tidaknya kenikmatan dan kepuasan batin. Maka langkah apresiasi harus diawali dengan membawa mereka kepada pengenalan sastra, menciptakan suasana yang enjoy agar mereka menggemarinya, lalu menimatinya, merespon (memberi reaksi) bahkan bila memungkinkan pada akhirnya sampai pada tataran mampu berproduksi.


*Penulis mantan guru tinggal di Depok











No comments: