01 October, 2007

FILEM HOROR KITA MENJIJIKKAN?

Oleh : * Ahmad Suyudi

FILEM horror Indonesia tidak lagi memberikan gigitan yang berarti karena filem horor kita bukanlah filem horor yang menakutkan dan mampu menggetarkan jantung setiap penontonnya, melainkan hanya menjijikkan dan menggelikan belaka. Kenyataan ini dikarena filem horor kita terlalu banyak mengeksploitasi cara-cara pembunuhan yang keji dan irasional (absurd) serta warna darah yang terlalu dominan tetapi kurang wajar. Keadaan yang memperparah yakni adanya bumbu seks yang berlebihan pula, sehingga justru mendominasi hampir semua adegan filem horror kita. Esensi horror itu sendiri akhirnya menguap.

Berbeda dengan filem-filem honor buatan Amerika, meskipun memiliki dasar cerita yang kadang sudah klise, penggarapan dan pengolahan plot serta penerapan trik-trik canggih (tetapi wajar) mampu menyeret penonton kepada rasa penasaran hingga akhir cerita. Inilah sebenarnya kunci utama dari setiap penggarapan cerita, tak terkecuali visualisasi di dalam karya sinematografi. Bagaimana caranya membawa setiap penonton tidak lekas bosan dan dengan begitu muda mampu menerka secara tepat akhir dari sebuah alur cerita yang disajikan.

Filem-filem horor yang dikombinasi dengan fiksi ilmiah terutama, selain ide-ide baru substansi ceritanya ditambah dengan pemanfaatan teknologi canggih untuk memperoleh trik-trik yang brilian serta pengolahan plot (alur cerita)nya mampu menyedot energi penonton yang harus secara marathon mengikuti setiap adegan mendebarkan jantung, harus pula mengolah pikir untuk memahami jalan ceritanya.

Perbedaan lain yang sangat mencolok antara filem horor kita dengan filem-filem impor adalah adanya kebaruan ide yang bermunculan dan trik-trik canggih. Filem SHOKER yang disutradarai Wes craven penulis jadikan contoh. Filem jenis horor ini nyari sempurna. Sejak awal sampai akhir cerita penonton tidak diberi kesempatan sedikit pun berlega hati, senantiasa dicekam terror-teror yang mendebarkan jantung. Tempo ritme antara scen satu dengan yang lainnya begitu cepat membuat penonton terpaksa harus ‘ngos-ngosan’ mengikuti gerak alur cerita.

Ide ceritanya yang mendasari Shoker sebenarnya cenderung berbau mistis-takhayul, yakni tentang kematian yang tidak wajar dan balas dendam. Gagasan cerita klise seperti ini banyak digarap oleh sutradara-sutradara lain, tak terkecuali juga para sineas kita. Namun kebaruan segi penggarapan serta penyelesaian konflik dan ketegangan cerita tidak diselesaikan lewat campur tangan seorang saint/pendeta atau santri/kyai seperti kebanyakan filem mistis-takhayul lain. Penyelesaian konflik yang akhirnya menjadi ending cerita dibuat lebih rasional, meskipun akhirnya juga sebetulnya absurd dan irasional, apalagi setting ceritanya adalah kehidupan masyarakat moderen.

Dominasi warna merah darah di dalam filem ini nampak tidak mengada-ada karena kemunculannya semua ditautkan pada hubungan sebab akibat yang logis akibat dari polah dendam orang biadab yang dilatari oleh stress jiwa yang hebat. Lalu adegan-adegan seks (porno) tidak mendapat tempat sama sekali di dalamnya.

Horor Indonesia

Bila kita membandingkan dengan filem-filem horor kita yang belakangan menjamur keadaanya akan sangat berbeda. Bagaimana dapat kita menerima dengan akal ’sesosok’ setan seperti Nyai Roro Kidul yang konon penguasa atau Ratu Pantai Selatan itu membantai habis orang-orang yang dimurkai dan dimusuhinya secara keji dan sadis (filem: Pembalasan Ratu Pantai Selatan). Tidak dapatkah realistas mistis dan takhyul digarap dengan lebih logis dan rasional? Pernah adakah iblis atau roh jahat yang gentayangan dan memburu manusia dengan nyata, terlihat, bahkan dapat dihadapi saling beradu fisik antara keduanya yang beda golongan dan beda alam?

Adanya kebaruan gagasan cerita seperti kita lihat dalam filem-filem produksi luar negeri itu pun tentu membutuhkan adanya unsur-unsur yang baru pula. Filem horor dengan latar cerita fiksi ilmiah telah banyak menggunakan setting cerita luar angkasa atau cerita yang ditempatkan pada masa pasca perang nuklir, seperti dalam filem Aliens (Sirgouney Weaver) dan filem Terminator (Arnold Schwazzerneger). Gagasan seperti ini memang belum memungkinkan untuk digarap oleh para sineas kita nampaknya, mengingat keterbatasan teknologi dan biaya produksi. Namun keterbatasan teknologi tidak harus menjadi penyebab kita terus menerus berkutat dengan cerita-cerita mistis-takhayul yang sudah klise dan tersebar luas di masyarakat. Belasan judul filem dengan latar belakang cerita sama digarap dengan judul yang berbeda. Entah sudah berapa judul filem menggarap legenda mitos Nyai Roro Kidul, yang sebenarnya secara substansial bukan sesuatu yang asing dan baru bagi kita.

Keadaan ini lebih diperparah lagi oleh munculnya gejala yang sedang berkembang yakni kecenderungan mengerjakan filem bersambung dengan mengadopsi cerita serial atau bersambung dari sandiwara radio. Apa yang dapat diperoleh penonton dari filem-filem semacam itu, kecuali hanya ingin menyaksikan seperti apa sih wajah ’Nenek Lampir’, disamping ingin melihat adegan-adegan syur yang membubuhi jalan ceritanya.

Kalau kondisi seperti ini terus dibiarkan, filem horor tidak lagi mampu memberi sesuatu yang baru bagi penontonnya. Dan akhirnya filem horor hanya akan menjadi filem sesk belaka dengan mengeksploitasi adegan-adegan seks yang berlebihan dan tidak lagi menggetarkan karena ceritanya sudah terlalu klise!



***
PERLUKAH KOMIK
JADI BAHAN PENGAJARAN
DI SEKOLAH?

Oleh : *Ahmad Suyudi


Gagasan Dr. Sapardi Djoko Damono, mengenai adanya kemungkinan komik diajarkan di sekolah tampaknya akan semakin menarik untuk diperbincangkan. Agaknya tidak hanya para guru di sekolah dan orang tua yang dalam hal ini secara langsung maupun tidak, akan menanggung akibat dari kemungkinan timbulnya persoalan baru, jika kelak gagasan itu benar-benar akan terwujud. Orang-orang di kalangan dunia sastra juga akan menanggung akibatnya.

Di dalam Munas III dan Pertemuan Ilmiah Nasional IV Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia di Yogyakarta, Sapardi mengemukakan, komik mempunayi kemungkinan peluang untuk diajarkan di sekolah karena komik seringkali mengungkapkan mentalitas masyarakat. Dia juga melihat kemungkinan dipergunakannya bacaan cerita bergambar ini sebagai bahan pengajaran untuk pendidikan sekolah dasar sampai tingkat menengah atas.
Terlepas dari komik macam apa yang memiliki kemungkinan seperti digagaskan itu, akan muncul persoalan baru yang tampaknya tidak bisa begitu saja dipandang remeh. Memang setiap kali muncul suatu gagasan baru seperti ini pasti akan membawa konsekuensi timbulnya pengaruh positif – negatif yang tak mungkin terelakkan.


Sosialisasi Sastra Terseok-seok


Persoalan yang kemungkinan sekali harus dihadapi terutama bagi dunia sastra yakni dirasakan munculnya tantangan atau tandingan baru yang bisa saja menghambat jalannya proses sosialisasi sastra. Kita mengetahui bahwa pemasyarakatan karya-karya sastra yang memiliki satu-satunya jalan terbaik dan efektif melalui jalur pendidikan di sekolah, hingga saat ini belum lagi membawa hasil yang memuaskan.
Terlalu banyak persoalan yang harus dihadapi bagi pemasyarakatan sastra di sekolah. Mulai dari kekurangmampuan guru-guru bahasa dan sastra Indonesia dalam menyampaikan pengajaran apresiasi sastra kepada siswa, sehingga sering dianggap sebagai kambinghitam kegagalan proses sosialisasi sastra di sekolah, rendahnya budaya minat baca para pelajar kita terhadap karya sastra, terlalu mahalnya harga buku kita bagi masyarakat, sampai kepada masalah rumitnya memahami bacaan sastra yang tidak jarang justru membuat para siswa lari ke bentuk bacaan lain seperti buku-buku sastra populer termasuk di dalamnya komik!
Maka dapat diduga kelak akan semakin terpuruklah nasib proses sosialisasi sastra melalui jalur pendidikan sekolah apabila komik juga menjadi bahan ajar di sekolah.

Bukan tidak mungkin komik akan menjadi saingan terbesar bagi bacaan sastra. Sekarang ini saja kita tidak dapat memungkiri kenyataan bahwa anak-anak lebih cenderung memilih komik sebagai bahan bacaan, meskipun tidak jarang guru atau orangtua melarang dan mencegah mereka. Kenyataannya komik sebagai bahan bacaan ringan yang mudah dicerna memang lebih memiliki daya tarik ketimbang karya sastra yang sering mereka anggap berat dan terlalu rumit untuk dipahami.

Persoalan lain yang tak kalah pentingnya dan harus dipikirkan sejak sekarang adalah bakal munculnya tugas baru bagi guru-guru di sekolah. Mereka tentu harus bekerja ekstra memberi pengawasan bagi setiap bacaan jenis komik yang akan dibaca oleh siswa-siswanya. Betapa repotnya tugas ini harus dijalankan oleh para pendidik di sela-sela sulitnya mengatur jam-jam pelajaran pokok yang sering dikeluhkan, karena sempitnyawaktu akibat terlalu padatnya materi pelajaran yang harus disampaikan.

Persoalan waktu ini pula yang sering disebut-sebut sebagai salah satu penyebab kegagalan pengajaran sastra di sekolah. Pengajaran sastra di sekolah hanya memperoleh alokasi waktu yang sangat kecil, di samping hanya merupakan bagian dari satu unit yang di-dompleng-kan di dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Maka betapa repotnya nanti jika benar-benar komik disetujui bakan menjadi bahan ajar di sekolah.

Pendorong Minat Baca

Pernyataan Rahayu Hidayat, ketua tim pengkajian komik dari Universitas Indonesia, yang menyetujui kalau komik bisa saja dipergunakan sebagai bahan bacaan di perpustakan sekolah, cukup baik. Harus diakui memang bahwa jenis bacaan ini memiliki potensi sangat besar untuk pendorong bagi timbulnya minat baca pada anak-anak. Terlepas dari besar kecilnya kapasitas pengetahuan yang terkandung di dalamnya komik bersama-sama genre bacaan populer lainnya seperti novel/roman remaja, novel misteri, novel-novel silat (cerita silat/cersil), dan sebagainya telah memberi kontribusi sangat besar sebagai stimuli munculnya minat baca pada anak-anak.

Bayangkan, kalau komik seperti Kungfu Boy, Dragon Ball, Conan, Mary-Chan, Seven Magic, Saint Seiya, dan lain sebagainya, konon terjual laris hingga puluhan ribu eksemplar setiap judul episodenya.Hal serupa juga dialami oleh jenis bacaan populer dalam genre novel-novel/roman berisi cerita silat atau cersil. Meskipun tirasnya tidaklah se-fantastis komik anak-anak itu, frekuensi dan rutinitas terbitnya yang bisa satu minggu sekali, mampu menjamah pembaca yang tidak sedikit jumlahnya.

Sebuah penerbit buku di Jakarta yang memiliki motto Penerbit Buku Silat Bermutu misalnya, setiap minggu mampu menerbitkan tidak kurang dari lima judul episode novel silat. Dan dari setiap judul jumlah tirasnya mencapai sepuluh hingga limabelas ribu eksemplar. Padahal berjumlah belasan penerbit semacam itu ada di Indonesia. Di Jakarta saja ada beberapa penerbit buku picisan semacam itu seperti: Alam Budaya, Penerbit Cinta Media, Rosita, Nur Agency, Gultom, Sanjaya, dan, Lokajaya Agency. Puluhan ribu eksemplar setiap minggu berhasil mereka cetak dan terbitkan buku novel cerita silat seperti Pendekar Rajawali Sakti, Pendekar Pulau Neraka )karya Teguh S.), Dewa Arak (karya Ajisaka), Pendekar Naga Putih (karya T. Hidayat), Pendekar Gila (karya F. Rahardja) Pendekar Gila sekarang bisa di-download dlm bentuk e-book, Wiro Sableng (karya Bastian Tito), Pendekar Slebor (karya Pijar EL) dan lain-lain. Belum lagi cerita silat yang diterbitkan oleh penerbit besar seperti Novel bersambung berjudul Musashi, Senopati Pamungkas, ditambah lagi cersil-cersil yang sudah melegenda seperti karya-karya Kho Ping Ho, dan SH Mintaredja, baik silat Jawa maupun yang bersetting Tiongkok.

Buku-buku silat terjemahan dan saduran juga semarak memberi warna pada dunia penerbitan buku-buku populer. Karya-karya cerita bernafas panjang dalam bentuk cerita-cerita bersambung karya Khu Lung, Cin Yung, dan Liang Yusheng sduah tidak asing lagi bagi para penggemar cersil.

Perhitungan secara kasar saja, apabila setiap penerbit menerbitkan rata-rata lima judul/episode dalam setiap minggunya, dan setiap judulnya rata-rata terbit limaribu eksemplar, maka setiap minggu beredar ratusan ribu eksemplar buku-buku cerita silat. Fantastis ! Belum lagi ditambah dengan jenis-jenis novel populer lain seperti novel misteri/horor, detektif, dan roman/nover percintaan, baik karya-karya penulis lokal maupun terjemahan dari luar negeri. Kesemuanya memperkaya khasanah perbukuan dan menjadi ’makanan’ bagi ratusan ribu pembaca di Indonesia.

Kondisi semacam inilah rupanya yang tidak pernah dialami oleh penerbitan buku-buku sastra. Maka tidak mengherankan jika anak-anak dan para remaja kita temukan mereka lebih akrab dengan jenis bacaan populer, termasuk komik. Di samping kemasan dan harganya yang terjangkau, buku-buku popluer lebih mudah dicerna karena para pengarang biasanya menyajikan dengan gaya bahasa yang ringan, sederhana dan tidak rumit/jlimet. Namun dari semua gambaran realitas bacaan populer termasuk komik di dalamnya, yang paling penting seperti diungkapkan oleh Dr. Sapardi Djoko Damono, bahwa cerita-cerita di dalam komik seringkali mengungkapkan mentalitas masyarakat dengan gaya bacaan yang nge-pop!


*Penulis adalah mantan guru dan pekerja sastra
tinggal di Depok
Kebenaran yang Kalah
dalam "Rintrik" Cerpen Danarto

Sebuah karya sastra merupakan suatu ekspresi estetis yang lahir dari jiwa pengarangnya. Ekspresi estetis ini lahir disebabkan oleh adanya impuls internal sebagai akibat adanya impuls eksternal pengarangnya. Oleh karenanya isi dari suatu karya sastra biasanya tidak jauh dari realitas-realitas yang ada di dalam kehidupan masyarakat di mana pengarang tersebut berada. Fenomena dan peristiwa-peristiwa yang ada atau terjadi di dalam kehidupan manusia terbaca oleh kepekaan hati dan pikiran pengarang dan terserap ke dalam batin/jiwanya. Kemudian secara imajiner, fakta-fakta itu diolah (melalui proses fictionality) dan hasilnya suatu cerita rekaan yang tidak jauh dari kenyataan hidup yang ada. Maka dapat pula dikatakan, bahwa karya sastra merupakan hasil rekaman pikiran pengarang yang dituangkan kembali ke dalam bentuk lain setelah terlebih dahulu mengalami proses fiksionalisasi.

Akan tetapi ada pengarang tertentu yang secara sengaja membuat tokoh-tokoh imajiner di dalam cerita rekaannya. Tokoh-tokoh tersebut sebenarnya tidak ada di dalam realitas formal. Tokoh-tokoh yang diciptakannya hanya merupakan simbolisasi-simbolisasi dari sifat-sifat manusia dalam kehidupan, atau bisa juga simbolisasi dari nilai-nilai yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

Para pengarang seperti Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Danarto, dan Arifin C. Noer, adalahbeberapa pengarang yang ingin mengembalikan realitas sastra kepada keadaan yang murni, yakni realitas imajiner. Sastra harus dibebaskan dari monotoni kesemuan dan perangkap realitas formal (Dami N. Toda, Hamba-Hamba Kebudayaan). Jadi seperti sifat dari karya sastra itu sendiri, sastra adalah karya tulis yang bersifat khayali.

Demikian yang terjadi di dalam cerpen karya Danarto yang judulnya tidak menggunakan kata/frase atau kalimat gramatikal, melainkan sebuah gambar jantung yang tertusuk anak panah dan meneteskan darah. Tokoh Rintrik di dalam cerpen ini adalah simbolisasi dari bawah sadar manusia. Setting tempat maupun waktu pun di dalam cerpen ini boleh dikatakan unik, tidak terikat oleh sebuah keterangan waktu maupun tempat layaknya setting yang terjadi pada realitas formal. Seperti pada cerpen-cerpen yang lain, Danarto menempatkan tokoh-tokoh pelakunya yang bersifat imajiner itu pada setting yang sulit untuk diketemukan/diketahui di mana letaknya di muka bumi ini. Di situlah cerita itu terjadi, segala macam fenomena dan peristiwa-peristiwa berlangsung dan mengalir. Dapat saja disebut di barat, dapat pula di timur, atau utara atau di selatan. “… saya merasa tidak pernah terikat oleh tempat. Apalagi yang disebut Barat dan Timur. Saya menganggap Barat dan Timur itu tidak ada.” (Danarto: Jelmaan Ruang dan Waktu yang disusun oleh Pamusuk Eneste dalam “Proses Kreatif”).

Di dalam cerpen “Rintrik” (judul sebenarnya berupa sebuah gambar jantung tertusuk anak panah dan meneteskan darah. Untuk selanjutnya penulis menyebutnya cerpen “Rintrik”, mengacu kepada nama tokoh protagonis), kita dihadapkan kepada tokoh ”Rintrik” yang didiskripsikan sebagai seorang perempuan tua yang buta. Tokoh "Rintrik" adalah seseorang yang memiliki keagungan budi dan kekuatan iman. ”Rintrik” merupakan simbolisasi dari nilai-nilai kebenaran yang dalam kodratnya harus berhadapan bahkan berperang melawan kebatilan. Itulah yang ingin diungkapkan oleh pengarangnya di dalam cerpen tersebut.

Kehadiran ”Rintrik” di lembah tempat pembuangan bayi-bayi manusia yang baru dilahirkan itu diibaratkan sebagai kedatangan seorang nabi atau rasul utusan Tuhan yang mengemban tugas untuk membebaskan dan memperbaiki budi manusia yang bobrok. Ia sekaligus menjadi gambaran seseorang yang membawa nilai-nilai kebenaran di dalam dirinya.

Kehadiran ”Rintrik” sebagai simbol kebenaran yang betarung menghadapi kebatilan oleh Danarto digambarkan melalui keberadaan lembah yang pada mulanya dahulu merupakan tempat yang memiliki keindahan dan menakjubkan luar biasa, telah berubah menjadi tempat yang buruk, angker, dan menyeramkan. Lembah yang semula menjadi tempat tujuan orang untuk berplesiran dan berhibur dari kepenatan hidup sehari-hari, kini menjadi ajang tempat pembuangan bayi-bayi hasil perbuatan keji manusia. Nilai-nilai kebatilan tergambar jelas dan utuh melalui tokoh Pemburu, sebagai antagonis di dalam cerpen ini, dan secara tersirat melalui kebejatan moral orang-orang kota yang membuang bayi-bayi hasil perbuatan mesum mereka ke lembah itu.

Keberadaan ”Rintrik” yang buta tidak lagi merupakan keberadaan manusia. Eksistensinya telah melampui batas eksistensi manusia biasa, bahkan nabi dan rasul sekali pun.

Membaca cerpen ”Rintrik” kita disuguhi suatu kehidupan realitas imajiner, yang begitu cepat berganti antara dunia nyata dan dunia surealis, yakni bukanlah kehidupan yang benar-benar riil yang berpijak di dunia nyata. Realitas-realitas yang tercipta di dalamnya lebih menyerupai suasana dalam impian. Seperti apa yang diungkapkan pula oleh Dr. Umar Kayam: “Danarto nyaris secara langsung memberitahu dan mengajak kita untuk masuk ke dalam dunia yang memang bukan dunia manusia kita sehari-hari. Bukan dunia fana seperti yang kita kenal, tetapi juga bukan dunia yang mutlak baka. Bukan dunia riil tetapi juga bukan yang sepenuhnya abstrak. Seringkali suasana itu adalah suasana sonya ruri yang mengambang, sunyi, mengerikan, di mana sosok manusia itu tidak jelas identitasnya, asal-usulnya, dan status hidupnya.” (Umar Kayam, Pengantar Buku Kumpulan Cerpen “Berhala” karya Danarto)

Realitas imajiner seperti itu tidak hanya terjadi pada cerpen ”Rintrik”, melainkan juga pada beberapa cerpen lain karya Danarto. Cerpen “Godlob”, “Armegedon”, “Kecubung Pengasihan”, "Sandiwara Di Atas Sandiwara", adalah contoh cerita dengan setting di mana saja. Fenomena-fenomena di dalam cerpen Danarto dapat berlaku dan terjadi di mana saja. Setting pada “Godlob” misalnya, dapat saja terjadi di semua peperangan yang ada di muka bumi ini. Atau taman bunga tempat hidup dan bercengkerama si Perempuan Bunting yang dapat mempertahankan hidup dengan menyantap bunga-bunga yang pada menawarkan diri untuk dimakannya, dan juga kolong jembatan yang selalu dijadikan mesjid dan gereja tempat sembahyang Perempuan Bunting (dalam cerpen :“Kecubung Pengasihan”), ada di mana saja, di kota mana saja, di negara mana saja. Atau juga padang tandus dalam cerpen “Armegedon”, sulit bagi kita untuk mengetahuinya di mana tempat-tempat itu berada di atas muka bumi ini.

Nilai yang Kalah

Seperti dijelaskan tadi tokoh "Rintrik" yang buta merupakan simbolisasi dari kebenaran yang harus mengalami kekalahan oleh kebatilan. Di dalam cerpen ini dikisahkan "Rintrik" harus menerima kematiannya di ujung peluru sang pemburu.

Para penduduk di sekitar lembah tempat pembuangan bayi-bayi merupakan lambang bagi keberhasilan nilai-nilai kebenaran mengambil simpati manusia. Layaknya para pengikut nabi dan rasul yang berhijrah menuju kebenaran hidup, menuju hidayah dari Yang Maha Kuasa. Hal ini seperti dikatakan sendiri oleh Danarto, bahwa terkandung di dalam cerpen ini suatu ma’rifat dan hikmah ke-Tuhan-an yang diimpi-impikan oleh para rasul, dan nabi, para sufi, dan wali.

Perempuan berhati lembut dan berbudi agung bernama "Rintrik" itu juga melambangkan seorang manusia yang berhasrat besar untuk dapat menyaksikan wajah Tuhan, sehingga pada akhirnya kematian yang dialaminya merupakan satu jalan menuju tercapainya hasrat tersebut.

Fenomena inilah kiranya yang dapat kita tangkap dari keseluruhan rangkaian alur dan penokohan dalam cerpen "Rintrik" . Kenyataan semacam itu bukan tidak ada di dalam realitas kehidupan sehari-hari, di mana nilai-nilai kebenaran tidak jarang harus tenggelam oleh suatu kebatilan.

Inilah yang terjadi di dalam proses fiksionalisasi hingga terciptanya karya sastra. Fakta yang ada di dalam kehidupan nyata dapat dituangkan ke dalam bentuk lain setelah mengalami proses fiksionalisasi menjadi cerita rekaan dengan tokoh-tokoh imajiner yang menyimbolkan berbagai nilai dan sifat perangai manusia di dalam kehidupan yang nyata.

****

Harian Jayakarta, 2 Maret 1989

Oleh * Ahmad Suyudi (anggota Kelompok Studi LAS IKIP Rawamangun Jakarta)