01 October, 2007

Kebenaran yang Kalah
dalam "Rintrik" Cerpen Danarto

Sebuah karya sastra merupakan suatu ekspresi estetis yang lahir dari jiwa pengarangnya. Ekspresi estetis ini lahir disebabkan oleh adanya impuls internal sebagai akibat adanya impuls eksternal pengarangnya. Oleh karenanya isi dari suatu karya sastra biasanya tidak jauh dari realitas-realitas yang ada di dalam kehidupan masyarakat di mana pengarang tersebut berada. Fenomena dan peristiwa-peristiwa yang ada atau terjadi di dalam kehidupan manusia terbaca oleh kepekaan hati dan pikiran pengarang dan terserap ke dalam batin/jiwanya. Kemudian secara imajiner, fakta-fakta itu diolah (melalui proses fictionality) dan hasilnya suatu cerita rekaan yang tidak jauh dari kenyataan hidup yang ada. Maka dapat pula dikatakan, bahwa karya sastra merupakan hasil rekaman pikiran pengarang yang dituangkan kembali ke dalam bentuk lain setelah terlebih dahulu mengalami proses fiksionalisasi.

Akan tetapi ada pengarang tertentu yang secara sengaja membuat tokoh-tokoh imajiner di dalam cerita rekaannya. Tokoh-tokoh tersebut sebenarnya tidak ada di dalam realitas formal. Tokoh-tokoh yang diciptakannya hanya merupakan simbolisasi-simbolisasi dari sifat-sifat manusia dalam kehidupan, atau bisa juga simbolisasi dari nilai-nilai yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

Para pengarang seperti Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Danarto, dan Arifin C. Noer, adalahbeberapa pengarang yang ingin mengembalikan realitas sastra kepada keadaan yang murni, yakni realitas imajiner. Sastra harus dibebaskan dari monotoni kesemuan dan perangkap realitas formal (Dami N. Toda, Hamba-Hamba Kebudayaan). Jadi seperti sifat dari karya sastra itu sendiri, sastra adalah karya tulis yang bersifat khayali.

Demikian yang terjadi di dalam cerpen karya Danarto yang judulnya tidak menggunakan kata/frase atau kalimat gramatikal, melainkan sebuah gambar jantung yang tertusuk anak panah dan meneteskan darah. Tokoh Rintrik di dalam cerpen ini adalah simbolisasi dari bawah sadar manusia. Setting tempat maupun waktu pun di dalam cerpen ini boleh dikatakan unik, tidak terikat oleh sebuah keterangan waktu maupun tempat layaknya setting yang terjadi pada realitas formal. Seperti pada cerpen-cerpen yang lain, Danarto menempatkan tokoh-tokoh pelakunya yang bersifat imajiner itu pada setting yang sulit untuk diketemukan/diketahui di mana letaknya di muka bumi ini. Di situlah cerita itu terjadi, segala macam fenomena dan peristiwa-peristiwa berlangsung dan mengalir. Dapat saja disebut di barat, dapat pula di timur, atau utara atau di selatan. “… saya merasa tidak pernah terikat oleh tempat. Apalagi yang disebut Barat dan Timur. Saya menganggap Barat dan Timur itu tidak ada.” (Danarto: Jelmaan Ruang dan Waktu yang disusun oleh Pamusuk Eneste dalam “Proses Kreatif”).

Di dalam cerpen “Rintrik” (judul sebenarnya berupa sebuah gambar jantung tertusuk anak panah dan meneteskan darah. Untuk selanjutnya penulis menyebutnya cerpen “Rintrik”, mengacu kepada nama tokoh protagonis), kita dihadapkan kepada tokoh ”Rintrik” yang didiskripsikan sebagai seorang perempuan tua yang buta. Tokoh "Rintrik" adalah seseorang yang memiliki keagungan budi dan kekuatan iman. ”Rintrik” merupakan simbolisasi dari nilai-nilai kebenaran yang dalam kodratnya harus berhadapan bahkan berperang melawan kebatilan. Itulah yang ingin diungkapkan oleh pengarangnya di dalam cerpen tersebut.

Kehadiran ”Rintrik” di lembah tempat pembuangan bayi-bayi manusia yang baru dilahirkan itu diibaratkan sebagai kedatangan seorang nabi atau rasul utusan Tuhan yang mengemban tugas untuk membebaskan dan memperbaiki budi manusia yang bobrok. Ia sekaligus menjadi gambaran seseorang yang membawa nilai-nilai kebenaran di dalam dirinya.

Kehadiran ”Rintrik” sebagai simbol kebenaran yang betarung menghadapi kebatilan oleh Danarto digambarkan melalui keberadaan lembah yang pada mulanya dahulu merupakan tempat yang memiliki keindahan dan menakjubkan luar biasa, telah berubah menjadi tempat yang buruk, angker, dan menyeramkan. Lembah yang semula menjadi tempat tujuan orang untuk berplesiran dan berhibur dari kepenatan hidup sehari-hari, kini menjadi ajang tempat pembuangan bayi-bayi hasil perbuatan keji manusia. Nilai-nilai kebatilan tergambar jelas dan utuh melalui tokoh Pemburu, sebagai antagonis di dalam cerpen ini, dan secara tersirat melalui kebejatan moral orang-orang kota yang membuang bayi-bayi hasil perbuatan mesum mereka ke lembah itu.

Keberadaan ”Rintrik” yang buta tidak lagi merupakan keberadaan manusia. Eksistensinya telah melampui batas eksistensi manusia biasa, bahkan nabi dan rasul sekali pun.

Membaca cerpen ”Rintrik” kita disuguhi suatu kehidupan realitas imajiner, yang begitu cepat berganti antara dunia nyata dan dunia surealis, yakni bukanlah kehidupan yang benar-benar riil yang berpijak di dunia nyata. Realitas-realitas yang tercipta di dalamnya lebih menyerupai suasana dalam impian. Seperti apa yang diungkapkan pula oleh Dr. Umar Kayam: “Danarto nyaris secara langsung memberitahu dan mengajak kita untuk masuk ke dalam dunia yang memang bukan dunia manusia kita sehari-hari. Bukan dunia fana seperti yang kita kenal, tetapi juga bukan dunia yang mutlak baka. Bukan dunia riil tetapi juga bukan yang sepenuhnya abstrak. Seringkali suasana itu adalah suasana sonya ruri yang mengambang, sunyi, mengerikan, di mana sosok manusia itu tidak jelas identitasnya, asal-usulnya, dan status hidupnya.” (Umar Kayam, Pengantar Buku Kumpulan Cerpen “Berhala” karya Danarto)

Realitas imajiner seperti itu tidak hanya terjadi pada cerpen ”Rintrik”, melainkan juga pada beberapa cerpen lain karya Danarto. Cerpen “Godlob”, “Armegedon”, “Kecubung Pengasihan”, "Sandiwara Di Atas Sandiwara", adalah contoh cerita dengan setting di mana saja. Fenomena-fenomena di dalam cerpen Danarto dapat berlaku dan terjadi di mana saja. Setting pada “Godlob” misalnya, dapat saja terjadi di semua peperangan yang ada di muka bumi ini. Atau taman bunga tempat hidup dan bercengkerama si Perempuan Bunting yang dapat mempertahankan hidup dengan menyantap bunga-bunga yang pada menawarkan diri untuk dimakannya, dan juga kolong jembatan yang selalu dijadikan mesjid dan gereja tempat sembahyang Perempuan Bunting (dalam cerpen :“Kecubung Pengasihan”), ada di mana saja, di kota mana saja, di negara mana saja. Atau juga padang tandus dalam cerpen “Armegedon”, sulit bagi kita untuk mengetahuinya di mana tempat-tempat itu berada di atas muka bumi ini.

Nilai yang Kalah

Seperti dijelaskan tadi tokoh "Rintrik" yang buta merupakan simbolisasi dari kebenaran yang harus mengalami kekalahan oleh kebatilan. Di dalam cerpen ini dikisahkan "Rintrik" harus menerima kematiannya di ujung peluru sang pemburu.

Para penduduk di sekitar lembah tempat pembuangan bayi-bayi merupakan lambang bagi keberhasilan nilai-nilai kebenaran mengambil simpati manusia. Layaknya para pengikut nabi dan rasul yang berhijrah menuju kebenaran hidup, menuju hidayah dari Yang Maha Kuasa. Hal ini seperti dikatakan sendiri oleh Danarto, bahwa terkandung di dalam cerpen ini suatu ma’rifat dan hikmah ke-Tuhan-an yang diimpi-impikan oleh para rasul, dan nabi, para sufi, dan wali.

Perempuan berhati lembut dan berbudi agung bernama "Rintrik" itu juga melambangkan seorang manusia yang berhasrat besar untuk dapat menyaksikan wajah Tuhan, sehingga pada akhirnya kematian yang dialaminya merupakan satu jalan menuju tercapainya hasrat tersebut.

Fenomena inilah kiranya yang dapat kita tangkap dari keseluruhan rangkaian alur dan penokohan dalam cerpen "Rintrik" . Kenyataan semacam itu bukan tidak ada di dalam realitas kehidupan sehari-hari, di mana nilai-nilai kebenaran tidak jarang harus tenggelam oleh suatu kebatilan.

Inilah yang terjadi di dalam proses fiksionalisasi hingga terciptanya karya sastra. Fakta yang ada di dalam kehidupan nyata dapat dituangkan ke dalam bentuk lain setelah mengalami proses fiksionalisasi menjadi cerita rekaan dengan tokoh-tokoh imajiner yang menyimbolkan berbagai nilai dan sifat perangai manusia di dalam kehidupan yang nyata.

****

Harian Jayakarta, 2 Maret 1989

Oleh * Ahmad Suyudi (anggota Kelompok Studi LAS IKIP Rawamangun Jakarta)

No comments: